NAZAR
Lalu bernazarlah Yefta kepada TUHAN, katanya: “Jika Engkau sungguh-sungguh menyerahkan bani Amon itu ke dalam tanganku, maka apa yang keluar dari pintu rumahku untuk menemui aku, pada waktu aku kembali dengan selamat dari bani Amon, itu akan menjadi kepunyaan TUHAN, dan aku akan mempersembahkannya sebagai korban bakaran”(Hakim-Hakim 11:30-31).
Beberapa bulan terakhir ini kita disuguhi berita tentang kasus dari seorang yang bernama Nazarudin. Mulai dari sangkaan kasusnya yang diduga menyeret banyak nama (versi nyanyian Nazarudin), kisah pelariaannya, kisah penangkapannya, kisah pemulangannya, kisah bungkamnya di balik penjara, sampai kisahnya saat sholat Idul Fitri—menjadi bahan perbincangan dan perdebatan banyak orang. Entah secara kebetulan atau tidak, Nazar (begitu kata orang memanggilnya), menarik perhatian banyak orang. Namun sejenak mari kita tinggalkan si Nazar yang itu, dan marilah kita mengalihkan pada nazar yang bukan nama orang. Nazar yang saya maksud adalah nazar dari si Yefta; seorang hakim Israel. Nazar dapat dipahami sebagai perkataan sumpah atau janji pada diri sendiri yang hendak berbuat sesuatu jikalau maksud hatinya tercapai. Sebagian orang memahami nazar sebagai janji atau kaul.
Dalam perjalanan kehidupan umat Israel nazar dari Yefta termasuk sebuah nazar atau janji yang sembrono. Yefta berjanji akan mempersembahkan apa yang keluar dari pintu rumahnya kepada TUHAN jikalau TUHAN memberikan kemenangan kepadanya. Yefta terlalu cepat berkata-kata dan menjajikan sesuatu yang menjadi bagian dari kehidupannya tanpa didasari hikmat pemikiran yang mendalam. Kata orang jaman sekarang ia ceplas-ceplos saja, asbun alias asal bunyi. Padahal sejatinya kalau kita perhatikan dalam konteks kisahnya, TUHAN tidak menuntut apapun dari Yefta, apalagi menuntut sesuatu yang berlebihan dari Yefta. Tindakan Yefta adalah sebuah tindakan yang bodoh dan tidak perlu diteladani. Seorang yang bernama Walter C. Kaiser mengatakan “paling baik adalah menghindari pengucapan nazar yang nantinya akan menimbulkan kesulitan bagi suara hati dan kemampuan seseorang untuk memenuhinya (Amsal 20:25,Pengkotbah 5:2-6)”. Maka masih menurut Kaiser, nazar bukan dimaksudkan untuk membeli pengasihan Allah. Sebuah nazar atau janji harus mengungkapkan rasa syukur kepada Allah atas kasih dan karyaNya yang agung.
Dengan demikian, dari perkataan Yefta tersebut kita dapat memetik suatu yang penting dari sebuah perkataan yang kita ucapkan, yaitu pikir dulu sebelum berkata-kata apalagi berjanji. Juga jangan mudah mengumbar janji. Banyak orang jaman sekarang senang dan terbuai dengan janji-janji. Orang yang sedang berpacaran suka mengobral janji, para calon penguasa sebelum terpilih mengobral janji, para usahan, para kreditor sebelum berbisnis dengan mudahnya mengobral janji, para penatua dalam perkunjungan kepada calon penatua yang baru, supaya calon penatua yang baru mau menjadi penatua juga diberikan janji-janji kemudahan, bahkan para pendeta juga sering mengobral janji. Adalah sebuah tindakan yang terpuji jikalau kata-kata yang keluar dari mulut kita bukanlah janji semata-mata atau sebuah perkataan yang sembrono—melainkan sebuah perkataan yang dilandasi dengan hikmat Allah dan lahir dari motivasi kasih yang terdalam.
Apakah anda suka berkata-kata? Suka berbicara panjang lebar dengan segudang janji-janji ? Kepada orang-orang di sekitar anda, orang-orang yang anda jumpai juga kepada TUHAN, janji-janji selalu mengalir kepada mereka? Juga kepada diri sendiri ? Banyak orang kecewa kepada sesamanya karena sebuah janji. Banyak orang tua atau anak juga kecewa karena sebuah janji. Banyak para usahawan kecewa dan merasa tertipu juga karena janji. Banyak pasangan suami istri selingkuh dan rumah tangganya hancur karena tidak tepatnya sebuah janji. Banyak kali kutuk dari TUHAN menimpa umatNya karena mereka melanggar janji. Juga banyak orang merasa bersalah berkepanjangan karena tidak bisa menepati janji. Kata orang “diam itu emas”, tentu maksud peribahasa ini bukan berniat untuk membatasi orang berbicara, tetapi mengandung sebuah pengertian biarlah kata-kata, pembicaraan kita itu bernilai, bermutu, mengandung nilai-nilai moral yang membangun, penuh inspirasi.
Ditulis oleh Pnt.Dwi Santoso